Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Berdasakan UU No. 2/PNPS/1964

Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Berdasakan UU No. 2/PNPS/1964  - Hak untuk hidup itu sendiri dijamin keberlangsungannya dalam undang-undang dasar 1945, dimana dalam pelaksanaanya tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan undang-undang, sehingga tidak secara serta merta Hak untuk hidup dapat mengangkangi hak orang lain terutama dalam skala besar hak dari masyarakat. Inilah yang menjadi alasan dasar bahwa pembatasan hak untuk hidup adalah terletak pada kewajiban untuk menghormati hak untuk hidup yang dimiliki oleh orang lain. Berdasarkan hal tersebut lah di satu sisi keberadaan pidana mati masih tetap dipertahankan meskipun menuai pendapat pro dan kontra terhadap pelaksanaanya.

Berikut kami berikan tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Berdasakan UU No. 2/PNPS/1964 :

TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI YANG DIJATUHKAN OLEH  
PENGADILAN DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM DAN MILITER 

[UU No 2/Pnps/1964, yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang  
ditetapkan menjadi undang-undang dengan UU No 5 Tahun 1969] 

Mengingat : 
  1. Pasal IV Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.I/MPRS/1960 dan Pasal 10 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No.II/MPRS/1960; 
  2. Pasal 4 dari Penetapan Presiden No.4 Tahun 1962 tanggal 28 Desember 1962; 
  3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 226 Tahun 1963. 

BAB I
UMUM

Pasal 1
Dengan  tidak  mengurangi  ketentuan-ketentuan  hukum  acara  pidana  yang  ada  tentang  penjalanan putusan  pengadilan,  maka  pelaksanaan  pidana  mati,  yang  dijatuhkan  oleh  pengadilan  di lingkungan peradilan  umum  atau  peradilan  militer,  dilakukan  dengan  ditembak  sampai  mati, menurut  ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut. 

BAB II
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN UMUM

Pasal 2
  1. Jika tidak ditentukan lain oleh Menteri Kehakiman, pidana mati dilaksanakan dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama (Pasal 2 ayat 1). 
  2. Pidana  mati  yang  dijatuhkan  atas  dirinya  beberapa  orang  di  dalam  satu  putusan, dilaksanakan secara  serempak  pada  waktu  dan  tempat  yang  sama,  kecuali  jika  terdapat hal-hal  yang  tidak memungkinkan pelaksanaan demikian itu. 


Pasal 3
  1. Kepala  Polisi  Daerah  tempat  kedudukan  pengadilan  tersebut  dalam  Pasal  2,  setelah mendengar nasehat Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab untuk pelaksanaannya, menentukan waktu dan tempat pelaksanaan pidana mati. 
  2. Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Kepala Polisi Komisariat Daerah lain, maka Kepala Polisi Komisariat tersebut dalam ayat (1) merundingkannya dengan Kepala Polisi Komisariat Daerah lain itu. 
  3. Kepala  Polisi  Komisariat  Daaerah  tersebut  dalam  ayat  (1)  bertanggungjawab  atas keamanan dan ketertiban sewaktu pelaksanaan pidana mati dan menyediakan tenaga-tenaga serta alat-alat  yang diperlukan untuk itu. 


Pasal 4
Kepala  Polisi  Komisariat  Daerah  tersebut  dalam  Pasal  3  ayat  (1)  atau  Perwira  yang  ditunjuk olehnya menghadiri  pelaksanaan  pidana  mati  tersebut  bersama-sama  dengan  Jaksa  Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab atas pelaksanaannya. 

Pasal 5
Menunggu pelaksanaan pidana mati, terpidana ditahan dalam penjara atau di tempat lain yang khusus ditunjuk oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4. 

Pasal 6
  1. Tiga kali duapuluh empat  jam  sebelum  saat  elaksanaan  pidana mati,  Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut memberitahukan kepada terpidana tentang akan dilaksanakannya pidana tersebut. 
  2. Apabila  terpidana  hendak  mengemukakan  sesuatu,  maka  keterangan  atau  pesannya  itu diterima oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut. 

 Pasal 7
Apabila  terpidana  hamil,  maka  pelaksanaan  pidana  mati  baru  dapat  dilaksanakan  empat  puluh hari nsetelah anaknya dilahirkan.
  
Pasal 8
Pembela  terpidana,  atas  permintaannya  sendiri  atau  atas  permintaan  terpidana,  dapat  menghadiri pelaksanaan pidana mati. 

Pasal 9
Pidana  mati  dilaksanakan  tidak  di  muka  umum  dan  dengan  cara  sesederhana  mungkin,  kecuali ditetapkan lain oleh Presiden. 

Pasal 10
  1. Kepala  Polisi  Daerah  membentuk  suatu  Regu  Penembak  dari  Brigade  Mobile  yang terdiri dari seorang Bintara, 12 orang Tamtama, di bawah pimpinan seorang Perwira.   
  2. Khusus  untuk  pelaksanaan  tugasnya  ini,  Regu  Penembak  tidak  mempergunakan  senjata organiknya. 
  3. Regu Penembak ini berada di bawah perintah perintah Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4 sampai selesainya pelaksanaan pidana mati. 

Pasal 11 
  1. Terpidana dibawa ketempat pelaksanaan pidana dengan pengawalan polisi yang cukup. 
  2. Jika diminta, terpidana dapat disertai oleh seorang perawat rohani. 
  3. Terpidana berpakaian sederhana dan tertib. 
  4. Setiba di tempat pelaksanaan pidana mati, Komandan pengawal menutup mata terpidana dengan sehelai kain, kecuali terpidana tidak menghendakinya.

Pasal 12 
  1. Terpidana dapat menjalani pidana secara berdiri, duduk atau berlutut. 
  2. Jika  dipandang  perlu,  Jaka  Tinggi/Jaksa  yang  bertanggungjawab  dapat  memerintahkan supaya terpidana diikat tangan serta kakinya ataupun diikat kepada sandaran yang khusus dibuat untuk itu. 

Pasal 13 
  1. Setelah  terpidana  siap  ditembak,  Regu  Penembak  dengan  senjata  sudah  terisi  menuju  ke tempat yang ditentukan oleh Jaksa Tinggi/Jaksa tersebut dalam Pasal 4. 
  2. Jarak  antara  titik  di  mana  terpidana  berada  dan  tempat  Regu  Penembak  tidak  boleh melebihi  10 meter dan tidak boleh kurang dari 5 meter. 


Pasal 14 
  1. Apabila  semua  persiapan  telah  selesai,  Jaksa  Tinggi/Jaksa  yang  bertanggungjawab  untuk pelaksanaannya, memerintahkan untuk memulai pelaksanaan pidana mati. 
  2. Dengan segera para pengiring terpidana menjauhkan diri dari terpidana. 
  3. Dengan  menggunakan  pedang  sebagai  isyarat,  Komandan  Regu  Penembak  memberi perintah supaya  bersiap, kemudian dengan menggerakkan pedangnya ke atas ia  memerintahkan Regunya untuk  membidik  pada  jantung  terpidana  dan  dengan  menyentakkan  pedangnya  ke  bawah  secara cepat, dia memberikan perintah untuk menembak. 
  4. Apabila setelah penembakan itu, terpidana masih memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia belum mati, maka Komandan Regu segera memerintahkan kepada Bintara Regu Penembak untuk melepaskan tembakan  pengakhir  dengan  menekankan  ujung  laras  senjatanya  pada  kepala  terpidana  tepat  di atas telinganya. 
  5. Untuk memperoleh kepastian tentang matinya terpidana dapat diminta bantuan seorang dokter. 


Pasal 15 
  1. Penguburan  diserahkan  kepada  keluarganya  atau  sahabat  terpidana,  kecuali  jika berdasarkan kepentingan umum Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggungjawab memutuskan lain. 
  2. Dalam  hal  terahir  ini,  dan  juga  jika  tidak  ada  kemungkinan  pelaksanaan  penguburan oleh keluarganya  atau  sahabat  terpidana  maka  penguburan  diselenggarakan  oleh  Negara  dengan mengindahkan  cara  penguburan  yang  ditentukan  oleh  agama/kepercayaan  yang  dianut  oleh terpidana.  

Pasal 16 
  1. Jaksa Tinggi/Jaksa yang disebut dalam Pasal 4 harus membuat berita acara dari pada pelaksanaan pidana mati. 
  2. Isi dari pada berita acara  itu disalinkan ke dalam  Surat Putusan Pengadilan  yang telah mendapat kekuatan  pasti  dan  ditandatangani  olehnya,  sedang  pada  berita  acara  harus diberi catatan  yang ditandatangani  dan  yang  menyatakan  bahwa  isi  berita  acara  telah  disalinkan ke  dalam  Surat Putusan Pengadilan bersangkutan. 
  3. Salinan tersebut mempunyai kekuatan yang sama seperti aslinya. 


BAB III
TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI, YANG DIJATUHKAN OLEH PENGADILAN
DI LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

Pasal 17
Tata  cara  pelaksanaan  pidana  mati  yang  dijatuhkan  oleh  pengadilan  di  lingkungan  peradilan militer dilakukan menurut ketentuan termaksud dalam Bab I dan II, dengan ketentuan bahwa: 

a. kata-kata “Menteri Kehakiman” termaksud dalam Pasal 2 harus dibaca “Menteri/Panglima Angkatan yang bersangkutan”;
b. kata-kata  “Kepala  Polisi  Komisariat  Daerah”  dalam  Bab  II  harus  dibaca “Panglima/Komandan Daerah Militer”; 
c.  kata-kata “Jaksa Tinggi/Jaksa” dalam Bab II harus dibaca “Jaksa Tentara/Oditur Militer”; 
d. kata-kata “Brigade Mobile” dalam Pasal 10 ayat (1) dan “polisi” dalam Pasal 11 ayat (1) harus dibaca “militer”; 
e. Pasal  3 ayat (2) harus dibaca “Jika dalam penentuan waktu dan tempat itu tersangkut wewenang Panglima/Komandan Daerah Militer dari Angkatan yang sama atau Angkatan lain, maka Panglima atau Komandan  Daeerah  tempat  kedudukan  pengadilan  militer  yang  menjatuhkan  putusan  dalam tingkat  pertama  merundingkannya  dengan  Panglima  atau  Komandan  dari  Angkatan  yang bersangkutan”. 
f.  Pasal 11  ayat (3) harus dibaca “Terpidana,  jika seorang militer maka dia berpakaian dinas harian tanpa tanda pangkat dan atau tanda-tanda lain”. 

BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN DAN PENUTUP

Pasal 18
Pidana  mati  yang  dijatuhkan  sebelum  mulai  berlakunya  Undang-undang  ini  dan  yang  masih harus dilaksanakan, diselenggarakan menurut ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. 

Pasal 19
Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan. 


Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 April 1964. 


Demikian penjelasan tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Berdasakan UU No. 2/PNPS/1964, kiranya bermanfaat. Terima kasih

Related : Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Berdasakan UU No. 2/PNPS/1964