Ramalan Jayabaya
KOPERASI LESTARI - Banyak ramalan atau prediksi masa depan bangsa Jawa dan semua ramalan dinamakan ramalan
Jayabaya, penulis sendiri tidak tahu mana yang asli dan mana yang hanya sekedar dari mulut kemulut.
Satu-satunya sumber yang menjadi referensi penulis adalah yang tertulis dalam Serat Centhini pada akhir Jilid III pupuh 256 dan Jilid IV pupuh 257 dan 258.
Pada awal Pupuh 256 dikatakan :
Kalanira sang Prabu, Jayabaya Kadhiri ngadhatun, katamuan pandhita saking Rum nagri, nama Molana Ngalimu, Samsujen tahu kinaot.
Jadi ramalan yang dikemukakan oleh Prabu Jayabaya berasal dari ajaran
Maulana Seh Ngali Samsujen yang dalam pupuh selanjutnya berdasarkan
Kitab Musarar.
Selanjutnya dalam ramalan yang bermula dari tarih Masehi membagi zaman
menjadi masing-masing tujuh ratus tahun yaitu zaman : Kaliswara,
Kaliyoga, dan Kalisi- ngareki.
Masing2 tujuhratus tahun dibagi menjadi tujuh seratus tahunan sedangkan seratus tahunan dibagi menjadi tiga 33 tahunan.
Dengan pembagian tahun hanya sampai dengan tiga kali tujuh ratus tahun,
Jayabaya seolah-olah meramalkan bahwa akhir zaman akan terjadi pada abad
ke 21.
Sedangkan ramalan yang terjadi pada empat abad terakhir tentang tanah
Jawa adalah pada pupuh 256, tembang 44 s/d 47 sebagai berikut (yang
merupakan bagian dari tujuh abad zaman Kalisangireki) :
-Kaping pat arannipun, jaman Kalabendu werdinipun, estu Bebendu
wahananeki, keh jalma saluyeng rembug, dumadya prang lair batos.
-Ping lima arannipun, jaman Kalasuba tegesipun, jaman suka
wahananira keh jalmi, antuk kabungahan estu, rena lejar sakehing wong.
-Kaping nem arannipun, jaman Kalasumbaga puniku, werdi zaman Misuwur
wahanineki, keh jalma gawe misuwur, mrih kasusra ing kalakon.
-Kasapta arannipun, jaman Kalasurata rannipun, werdi jaman Alus wahananoreki, akeh jalma sabiyantu, ing budining karahayon.
Jadi setelah bangsa Jawa/Indonesia melewati zaman Kalabendu akan
mengalami tiga abad zaman keemasan dan kemahsyuran sampai dengan akhir
zaman. Cuma kalau menurut perhitungan Jayabaya zaman Kalabendu adalah
periode tahun 1800-1900, sedangkan sampai saat ini tanda-tanda zamannya
masih seperti zaman Kalabendu (yang mungkin periode 1900-2000) dan
setelah melewati tahun 2000 sampai dengan akhir zaman bangsa
Jawa/Indonesia akan mengalami masa kejayaannya.
Selanjutnya pada pupuh 257, Jayabaya meramalkan akan ada tujuh kerajaan
dimulai dari kerajaan Pejajaran di tanah Jawa dan setelah itu tanah Jawa
tidak lagi ada kerajaan, yang terjadi pada saat zaman Kalabendu.
Interpretasi tujuh kerajaan adalah: Pejajaran, Majapahit, Pajang, Demak,
Mataram, Surakarta, Yogyakarta dan masa kemerdekaan yang tidak ada
kerajaan lagi di Indonesia.
Dalam Pupuh 257 tembang 23 tercermin peralihan dari zaman kerajaan sebagai berikut :
Sirnaning kang, kadaton jalaranipun, wawan-wawan lawan, bangsa sabrang kulit kuning, mawa srana tatunggul turun narendra.
Yang bisa diterjemahkan bahwa kedatangan bangsa sebrang kulit kuning
(Jepang) sebagai sarana tidak ada lagi kerajaan di Jawa / Indonesia.
Zaman Kalabendu.
Pada pupuh 257 tembang 24 sampai dengan 44 dijelaskan secara terperinci
tanda-tanda zaman Kalabendu. Penulis sendiri belum pernah membaca Serat
Kalatidha karangan R.Ng. Ranggawarsita, yang kelihatannya telah disadur
dan dimasukkan dalam bagian dari Serat Centhini pada bagian ini – ini
sangat mungkin terjadi karena penulisan Serat Centhini terjadi pada satu
masa dengan masa kehidupan R. Ng. Ranggawarsita, bahkan pembukaan Serat
Centhini jilid 5, dibuat oleh beliau.
Kemungkinan lain kenapa masa Kalabendu mendapat porsi yang lebih banyak dalam Serat Centhini :
1.Interpretasi bahwa Kalabendu adalah zaman periode tahun 1800-1900 dimana saat penulisan Serat Centhini.
2. Serat Kalatidha yang disadur kedalam Serat Centhini pupuh 257 adalah
sekedar ilustrasi apa yang sedang terjadi pada zaman itu oleh
Ranggawarsita dan sama sekali bukan ramalan.
Ilustrasi apa yang terjadi pada masa Kalabendu sangat mirip dengan apa
yang sedang terjadi pada bangsa Indonesia saat ini, oleh karena itu
terbuka suatu interpretasi bahwa masa Kalabendu adalah periode yang akan
berakhir pada tahun 2000. Pertanda zaman sama sekali belum terlihat
tanda-tanda bahwa kita memasuki zaman Kalasuba yaitu suatu periode
setelah zaman Kalabendu berakhir (seperti yang di prediksi oleh
Jayabaya).
Barangkali kita bisa mencoba melihat ilustrasi dari masa zaman Kalabendu
yang dimulai dari tembang 28 s/d 44 pupuh 257 Serat Centhini jilid IV :
-Wong agunge padha jail kurang tutur, marma jeng pamasa, tanpa paramarteng dasih, dene datan ana wahyu kang sanyata.
Artinya: Para pemimpinnya berhati jail, bicaranya ngawur, tidak bisa dipercaya dan tidak ada wahyu yang sejati.
-Keh wahyuning eblislanat kang tamurun, apangling kang jalma, dumrunuh salin sumalin, wong wadon kang sirna wiwirangira.
Artinya : Wahyu yang turun adalah wahyu dari iblis dan sulit bagi kita
untuk membedakannya, para wanitanya banyak yang kehilangan rasa malu.
-Tanpa kangen mring mitra sadulur, tanna warta nyata, akeh wong mlarat mawarni, daya deye kalamun tyase nalangsa.
Artinya : Rasa persaudaraan meluntur, tidak saling memberi berita dan
banyak orang miskin ber-aneka macam yang sangat menyedihkan
kehidupannya.
-Krep paprangan, sujana kapontit nurut, durjana susila dadra andadi, akeh maling malandang marang ing marga.
Artinya : Banyak peperangan yang melibatkan para penjahat,
kejahatan/perampokan dan pemerkosaan makin menjadi-jadi dan banyak
pencuri malang melintang di jalan-jalan.
-Bandhol tulus, mendhosol rinamu puguh, krep grahana surya, kalawan grahana sasi, jawah lindhu gelap cleret warsa.
Artinya : Alampun ikut terpengaruh dengan banyak terjadi gerhana matahari dan bulan, hujan abu dan gempa bumi.
-Prahara gung, salah mangsa dresing surur, agung prang rusuhan, mungsuhe boya katawis, tangeh lamun tentreming wardaya.
Artinya: Angin ribut dan salah musim, banyak terjadi kerusuhan seperti
perang yang tidak ketahuan mana musuhnya yang menyebabkan tidak mungkin
ada rasa tenteram dihati.
-Dalajading praja kawuryan wus suwung, lebur pangreh tata, karana tanpa palupi, pan wus tilar
silastuti titi tata.
Artinya : Kewibawaan negara tidak ada lagi, semua tata tertib, keamanan, dan aturan telah ditinggalkan.
-Pra sujana, sarjana satemah kelu, klulun Kalathida, tidhem tandhaning dumadi, hardayengrat dening karoban rubeda.
Artinya : Para penjahat maupun para pemimpin tidak sadar apa yang diperbuat dan selalu menimbulkan masalah / kesulitan.
-Sitipati, nareprabu utamestu, papatih nindhita, pra nayaka tyas basuki, panekare becik-becik cakrak cakrak.
Artinya : Para pemimpin mengatakan se-olah-olah bahwa semua berjalan
dengan baik padahal hanya sekedar menutupi keadaan yang jelek.
-Nging tan dadya, paliyasing Kalabendu, mandar sangking dadra, rubeda angrubedi, beda-beda hardaning wong sanagara.
Artinya : Yang menjadi pertanda zaman Kalabendu, makin lama makin
menjadi kesulitan yang sangat, dan ber-beda-beda tingkah laku / pendapat
orang se-negara.
-Katatangi tangising mardawa-lagu, kwilet tays duhkita, kataman ring reh wirangi, dening angupaya sandi samurana.
Artinya : Disertai dengan tangis dan kedukaan yang mendalam, walaupun
kemungkinan dicemooh, mencoba untuk melihat tanda2 yang tersembunyi
dalam peristiwa ini. (kelihatanya ini adalah ungkapan hati pembuat
tembang ini).
-Anaruwung, mangimur saniberike, menceng pangupaya, ing pamrih melok pakolih, temah suha ing karsa tanpa wiweka.
Artinya : Berupaya tanpa pamrih.
-Ing Paniti sastra wawarah, sung pemut, ing zaman musibat, wong ambeg jatmika kontit, kang
mangkono yen niteni lamampahan.
Artinya : Memberikan peringatan pada zaman yang kalut dengan bijaksana,
begitu agar kejadiannya / yang akan terjadi bisa jadi peringatan
(peringatan dari R.Ng. Ranggawarsita).
-Nawung krida, kang menangi jaman gemblung, iya jaman edan, ewuh aya kang pambudi, yen meluwa edan yekti nora tahan.
Artinya : Untuk dibuktikan, akan mengalami jaman gila, yaitu zaman edan,
sulit untuk mengambil sikap, apabila ikut gila/edan tidak tahan.
- Yen tan melu, anglakoni wus tartamtu, boya keduman, melik kalling donya iki, satemahe kaliren wekasane.
Artinya : Apabila tidak ikut menjalani, tidak kebagian untuk memiliki harta benda, yang akhirnya bisa kelaparan.
- Wus dilalah, karsane kang Among tuwuh, kang lali kabegjan, ananging sayektineki, luwih begja kang eling lawan waspada.
Artinya : Sudah kepastian, atas kehendak Allah SWT, yang lupa untuk
mengejar keberuntungan, tapi yang sebetulnya, lebih beruntung yang tetap
ingat dan waspada (dalam perbuatan berbudi baik dan luhur).
-Wektu iku, wus parek wekasanipun, jaman Kaladuka, sirnaning ratu amargi, wawan-wawan kalawan memaronira.
Artinya : Pada saat itu sudah dekat berakhirnya zaman Kaladuka.
Kalau kita perhatikan ilustrasi zaman Kalbendu adalah sangat mirip
dengan ‘bebendu’ atau ‘kekalutan’ yang sedang terjadi saat ini yang
kelihatannya tidaksatupun pemimpin yang mampu mengatasi (baik yang
formal yang sedang mejalankan roda pemerintahan maupun pimpinan informal
diluar pemerintahan – bahkan pimpinan ABRI yang punya senjatapun tidak
mampu mengatasi masalah – bahkan cenderung seperti orang bingung /
linglung – yang se-mata-mata terpengaruh oleh perbawa zaman Kalabendu
yang tidak mungkin bisa dihindari).
Zaman Kalasuba.
Pada pupuh 258, dimulai suatu perubahan dari zaman Kaladuka ke zaman
Kalasuba yang lebih baik seperti pada tembang 1 s/d 6 sebagai berikut :
-Saka marmaning Hayang Sukma, jaman Kalabendu sirna, sinalinan jamanira,
mulyaning jenengan nata, ing kono raharjanira, karaton ing tanah Jawa,
mamalaning bumi sirna, sirep dur angkaramurka.
Artinya : Atas izin Allah SWT, zaman Kalabendu hilang, berganti zaman
dimana tanah Jawa/Indonesia menjadi makmur, hilang kutukan bumi dan
angkara murkapun mereda.
-Marga sinapih rawuhnya, nata ginaib sanyata, wiji wijiling utama,
ingaranan naranata, kang kapisan karanya, adenge tanpa sarana, nagdam
makduming srinata, sonya rutikedatonnya.
Artinya : Kedatangan pemimpin baru tidak terduga, seperti muncul secara
gaib, yang mempunyai sifat-sifat utama. (note : yang diterjemahkan
banyak pihak sebagai ‘satria piningit’).
-Lire sepi tanpa srana, ora ana kara-kara, duk masih keneker Sukma,
kasampar kasandhung rata, keh wong katambehan ika, karsaning Sukma
kinarya, salin alamnya, jumeneng sri pandhita.
Artnya: Datangnya tanpa sarana apa-apa, tidak pernah menonjol
sebelumnya, pada saat masih muda, banyak mengalami halangan dalam
hidupnya, yang oleh izin Allah SWT, akan menjadi pemimpin yang berbudi
luhur.
-Luwih adil paraarta, lumuh maring brana-arta, nama Sultan Erucakra,
tanpa sangakan rawuhira, tan ngadu bala manungsa, mung sirollah
prajuritnya, tungguling dhikir kewala, mungsuh rerep sirep sirna.
Artinya : Mempunyai sifat adil, tidak tertarik dengan harta benda,
bernama Sultan Erucakra (note : penulis tidak tahu apa maksudnya, perlu
interpretasi tentang nama ini), tidak ketahuan asal kedatangannya, tidak
mengandalkan bala bantuan manusia, hanya kepercayaan/keimanan terhadap
Allah SWT prajuritnya dan senjatanya adalah se-mata-mata zikir, musuh
semua bisa dikalahkan (note: suatu indikasi bahwa pemimpin yang akan
muncul adalah seorang Muslim yang sangat taat beragama, yang semata-mata
iman yang sangat tebal kepada Allah SWT yang membimbingnya dan menjadi
kekuatannya).
-Tumpes tapis tan na mangga, krana panjenengan nata, amrih kartaning
nagara, harjaning jagat sadaya, dhahare jroning sawarsa, denwangeni
katahhira, pitung reyal ika, tan karsa lamun uwiha.
Artinya : Semua musuhnya dimusnahkan oleh sang pemimpin demi
kesejahteraan negara,dan kemakmuran semuanya, hidupnya sederhana, tidak
mau melebihi, penghasilan yang diterima. (note : suatu indikasi bahwa
kejujuran, kesederhanaan, dan tidak mau melebihi apa yang menjadi
penghasilannya – tidak kurang tidak lebih – menjadi ciri utama dari
pemimpin yang baru. Dalam tembang ini sangat jelas dilukiskan kelemahan
pemimipin adalah sikap berlebih-lebih-an yang pada posisi sebagai
pimpinan cenderung tidak menerima apa yang secara murni diberikan oleh
negara sebagai penghasilannya sehingga menimbulkan banyak ‘kreativitas’
untuk mendapatkan ‘tambahan’ penghasilan yang sulit dikontrol
batas-batas-nya yang merugikan rakyat banyak yang contoh nyatanya adalah
situasi kehidupan para pimpinan/pejabat pemerintahan selama 32 tahun
rezim Soeharto berkuasa dan juga sampai dengan saat ini).
-Bumi sakjung pajegira, amung sadinar sawarsa, sawah sewu pametunya,
suwang ing dalem sadina, wus resik nir apa-apa, marmaning wong cilik
samya, ayem enake tysira, dene murah sandhang teda.
Artinya : Pajak orang kecil sangat rendah nilainya, orang kecil hidup tentram, murah sandang dan pangan.
-Tan na dursila durjana, padha martobat nalangas, wedi willating nata,
adil asing paramarta, bumi pethik akukutha, parek lan kali Katangga, ing
sajroning bubak wana, penjenenganin sang nata.
Artinya: Tidak ada penjahat, semuanya sudah bertobat, takut dengan kewibawaan sang pemimpin yang sangat adil dan bijaksana.
Kesimpulan.
Ilustrasi zaman Kalabendu adalah mirip dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat ini sebagai pertanda zaman dimana masyarakat kehilangan arah yang merupakan tahap akhir sebelum bangsa Indonesia bisa mengatasi dengan kedatangan pemimpin yang adil dan bijaksana. Bisa saja hal ini adalah sekedar suatu ‘angan-angan’ atau suatu harapan apabila suatu bangsa atau masyarakat mengalami tekanan kesulitan yang sangat sulit diatasi seperti pada saat ini sehinga harapan akan munculnya Ratu Adil (Satria Piningit) adalah sekedar suatu pelampiasan sumbat sosial agar masyarakat masih menaruh harapan akan datangnya suatu perbaikan.
Waktulah yang akan membuktikan bahwa apa yang menjadi ilustrasi dari budaya Jawa baik oleh Prabu Jayabaya dari Kediri maupun R. Ng. Ranggawarsita adalah sekedar ilustrasi pada masanya yang kebetulan berulang pada saat ini dan bisa saja berulang lagi dimasa yang akan datang atau merupakan prediksi yang mungkin bisa terjadi yang kita mengalami masa Kalabendu tahap akhir yang akan menuju masa Kalasuba yang penuh harapan.
Tujuan tulian ini adalah :
-Mengemukakan suatu ilustrasi zaman sesuai dengan referensi budaya Jawa.
-Mengingatkan kembali bahwa dalam menghadapi kesulitan, kebingungan, kekakhawatiran yang amat sangat pada saat ini, peringatan R. Ng. Ranggawarsita adalah sangat relevan untuk kita cermati kembali ‘luwih begja kang eling lan waspada’ yaitu kunci keselamatan agar kita tetap mampu mengontrol tingkah laku kita untuk tidak ikut-ikutan gila / edan walaupun dalam kesulitan seberapapun besarnya untuk menjaga perbuatan kita agar tetap menjaga sifat budi luhur tidak ikut-ikutan korupsi, tidak ikut-ikutan menjarah, tidak ikut-ikutan merampok dijalanan, tidak ikut-ikutan merusak, menyerahkan semuanya dengan ikhlas kepada Allah SWT yang hanya atas izinnya semata semua kejadian akan bisa berlaku apakah seseorang mendapat suatu kesulitan / musibah ataupun dipermudah jalannya. (Walaupun tidak mudah bersikap seperti ini pada zaman ini – dan ini nyata-nyata cobaan buat diri kita semua – dan tidak semua orang mampu lulus ujian melewati zaman Kalabendu dengan selamat kecuali ‘yang eling lan waspada’).
-Memberikan harapan bahwa keadaan akan lebih baik bila zaman Kalabendu berakhir dan perbawa (kewibawaan) pemimpin bisa kembali dengan datangnya zaman Kalasuba.
BACA JUGA : Ramalan Prabu Jayabaya
Ilustrasi zaman Kalabendu adalah mirip dengan kondisi bangsa Indonesia pada saat ini sebagai pertanda zaman dimana masyarakat kehilangan arah yang merupakan tahap akhir sebelum bangsa Indonesia bisa mengatasi dengan kedatangan pemimpin yang adil dan bijaksana. Bisa saja hal ini adalah sekedar suatu ‘angan-angan’ atau suatu harapan apabila suatu bangsa atau masyarakat mengalami tekanan kesulitan yang sangat sulit diatasi seperti pada saat ini sehinga harapan akan munculnya Ratu Adil (Satria Piningit) adalah sekedar suatu pelampiasan sumbat sosial agar masyarakat masih menaruh harapan akan datangnya suatu perbaikan.
Waktulah yang akan membuktikan bahwa apa yang menjadi ilustrasi dari budaya Jawa baik oleh Prabu Jayabaya dari Kediri maupun R. Ng. Ranggawarsita adalah sekedar ilustrasi pada masanya yang kebetulan berulang pada saat ini dan bisa saja berulang lagi dimasa yang akan datang atau merupakan prediksi yang mungkin bisa terjadi yang kita mengalami masa Kalabendu tahap akhir yang akan menuju masa Kalasuba yang penuh harapan.
Tujuan tulian ini adalah :
-Mengemukakan suatu ilustrasi zaman sesuai dengan referensi budaya Jawa.
-Mengingatkan kembali bahwa dalam menghadapi kesulitan, kebingungan, kekakhawatiran yang amat sangat pada saat ini, peringatan R. Ng. Ranggawarsita adalah sangat relevan untuk kita cermati kembali ‘luwih begja kang eling lan waspada’ yaitu kunci keselamatan agar kita tetap mampu mengontrol tingkah laku kita untuk tidak ikut-ikutan gila / edan walaupun dalam kesulitan seberapapun besarnya untuk menjaga perbuatan kita agar tetap menjaga sifat budi luhur tidak ikut-ikutan korupsi, tidak ikut-ikutan menjarah, tidak ikut-ikutan merampok dijalanan, tidak ikut-ikutan merusak, menyerahkan semuanya dengan ikhlas kepada Allah SWT yang hanya atas izinnya semata semua kejadian akan bisa berlaku apakah seseorang mendapat suatu kesulitan / musibah ataupun dipermudah jalannya. (Walaupun tidak mudah bersikap seperti ini pada zaman ini – dan ini nyata-nyata cobaan buat diri kita semua – dan tidak semua orang mampu lulus ujian melewati zaman Kalabendu dengan selamat kecuali ‘yang eling lan waspada’).
-Memberikan harapan bahwa keadaan akan lebih baik bila zaman Kalabendu berakhir dan perbawa (kewibawaan) pemimpin bisa kembali dengan datangnya zaman Kalasuba.
BACA JUGA : Ramalan Prabu Jayabaya