Perang Terlama di Indonesia - Diawali dengan kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang
menetapkan pajak dengan nilai tinggi kepada rakyat, dinilai sebagai kebijakan
yang sangat mencekik, karena saat itu rakyat berada pada kondisi yang miskin
dan serba kesulitan.
Kebijakan ini mendapatkan tentangan yang sangat kuat dari
rakyat, khususnya kaum santri. Saat itu mulailah terjadi perlawanan-perlawanan
rakyat terhadap Belanda.
Sebuah pertempuran besar luput dari catatan sejarah
nasional. Pertempuran tersebut terjadi di desa Kedongdong, Kecamatan
Susukan, Cirebon.
Peperangan tersebut terjadi selama 20 tahun (1753-1773), atau tujuh belas tahun
sebelum pecahnya perang Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan Perang Jawa.
Pergolakan melawan belanda bertambah hebat, Setelah Pangeran
Suryanegara, Putra Mahkota Sultan Kanoman IV menolak tunduk terhadap perintah
kolonial Belanda.
Ia memutuskan untuk keluar dari keraton dan bergabung
bersama rakyat untuk melakukan perlawanan. Di bawah pimpinan sang pangeran,
semangat rakyat semakin membara sehingga pemberontakan sengit terjadi di
mana-mana.
Pasukan Belanda pun semakin terdesak, mereka mengalami
kekalahan perang yang sangat besar, bukan saja kehilangan ribuan nyawa
prajuritnya, tapi juga kerugian sebesar 150.000 Gulden untuk mendanai perang
tersebut.
Dalam keadaan putus asa menghadapi perlawanan rakyat di
bawah pimpinan Pangeran Suryanegara, Belanda pun meminta tambahan pasukan.
Bahkan Belanda pun meminta bantuan dari pasukan Portugis
yang berada di Malaka, untuk membantu mereka meredam perlawanan rakyat Cirebon.
Kedatangan enam kapal perang yang mengangkut bala bantuan
pasukan Belanda, yang didukung oleh kekuatan tentara portugis di Pelabuhan
Muara Jati, tidak membuat ciut perlawanan rakyat. Justru sebaliknya semangat
perlawanan mereka semakin menjadi.
Pertempuran besar-besaran terjadi di Desa Kedongdong
Kecamatan Susukan. Dalam pertempuran tersebut ribuan nyawa melayang, baik di
pihak rakyat maupun Belanda.
Setelah menjalani pertempuran selama dua puluh tahun
(1753-1773), akhirnya Belanda sadar bahwa mereka tidak bisa menghadapi
perlawanan rakyat secara frontal.
Merekapun mencari cara untuk melumpuhkan semangat perlawanan
rakyat. Salah satu caranya adalah menangkap Pangeran Kanoman, karena dibawah
kepemimpinan sang pangeran semangat perlawanan rakyat semakin berkobar.
Akhirnya dengan segala tipu dayanya yang licik, Belanda
dapat menangkap Pangeran Kanoman tersebut. Belanda pun menahannya di Batavia, kemudian mengasingkannya di Benteng Victoria Ambon.
Bukan itu saja, Belanda juga mencabut gelar dan hak
kebangsawanan Pangeran Kanoman.
Setelah ditangkapnya sang pangeran, perlawanan rakyat
semakin melemah. Sedikit demi sedikit pasukan Belanda berhasil menguasai
pertempuran.
Walaupun luput dari catatan sejarah nasional, Perang
Kedongdong ternyata memiliki arti tersendiri bagi Belanda.
Pertempuran yang memakan kerugian besar bagi Belanda, baik
harta maupun nyawa itu, telah ditulis dalam sebuah kisah naratif oleh seorang
prajurit Belanda bernama Van Der Kamp. Tulisan asli Van Der Kamp saat ini
tersimpan di Perpustakaan Nasional Belanda.
Perlawanan yang diberikan oleh Pangeran Suryanegara beserta
rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong, dapat kita setarakan dengan sengitnya
perlawanan yang di berikan oleh Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol maupun
Cut Nyak Dien.
Karena itu sudah sepantasnya pertempuran tersebut di
catat dalam sejarah sebagai pertempuran yang bersifat nasional bukan hanya
sekedar pertempuran masyarakat lokal.